Senin, 01 Oktober 2012




Mereka yang Roso

Mereka punya otot. Topi sebagai pelindung panas. Sepatu boot  atau tanpa alas kaki. Menggunakan alat berat yang tak kecil resikonya. Bekerja lebih dari 8 jam sehari dengan tenaga yang luar biasa. Kuli bangunan istilah kasarnya. Banyak dari mereka berkorban nyawa demi profesi yang tak seberapa penghasilannya.

Ganasnya panas matahari tak membuat mereka mengeluh seperti kebanyakan orang. Mereka hanya menyeka tetesan keringat dengan baju yang penuh debu. Sedikit waktu istirahat untuk berteduh dan bercanda sesama teman lapangan. Faktor ekonomi dan pendidikan mungkin mendominasi alasan mereka. Beberapa diantara mereka yang seyogyanya masih di bangku pendidikan harus menekuni profesi ini. Hidup nan keras menuntut mereka untuk menjadi laki-laki roso.



 Mereka yang lain duduk nyaman di dalam bangunan tinggi megah nan sejuk. Mereka yang roso duduk diatas batu dan pasir. Mereka yang lain tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi mereka yang roso. Mereka yang lain juga tak pernah sadar kontribusi mereka yang roso. Mereka yang lain tak bisa duduk nyaman tanpa mereka yang roso. Mereka yang roso hanya bisa mendangak melihat mereka yang lain.


Tak seindah Liburanmu
Siapkan segelas minuman dan popcorn, dan nikmatilah tulisan membosankan ini.

Bulan suci ramadhan. Memang semua orang menyambut gembira datangnya bulan penuh berkah. Terlebih bagi anak-anak. Mereka gembira lantaran akan adanya baju baru, sepatu baru dan juga THR saat lebaran nanti. Tapi tidak untukku. Bukan karena apa-apa, tapi waktunya yang bertepatan dengan liburan membuat aku harus meninggalkan kota Jogja karena perintah orang tua. Sangat berat rasanya meninggalkan Jogja yang istimewa.

Hari itu datang juga. Terbayang olehku kota Semarang yang panas dan padat. Haaahh... baru memikirkannya saja sudah pening kepala ini. Ingin rasanya membatalkan tiket travel yang sudah dipesan. Tapi tak mungkin, orang tua sudah menanti dirumah. Sepintas ada sedikit penyesalan terburu-buru mengikuti KKN angkatan kemarin. “Harusnya aku ikut KKN angkatan ini saja agar ada alasan untuk tidak meninggalkan Jogja secepat itu” batinku. Tak apalah, toh nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau hari itu juga aku harus berangkat ke kota Semarang. Semoga buburnya bisa ku tambahkan kuah opor, kacang, suiran ayam dan sedikit kerupuk

14.00, aku sudah berada diatas travel langganan. Malasnya bukan kepalang, Jogja yang memberiku banyak pelajaran dan kenangan akan ku tinggalkan untuk sementara waktu. Bakal sangat bosan duduk ber jam-jam di jok mobil bersama orang yang tidak dikenal. Sukur-sukur kalau duduk dengan wanita cantik. Apa daya, penumpangnya veteran bau tanah. Semakin membosankan perjalananku. Tiga jam kedepan akan menjadi sangat lama diantara manusia-manusia ini.

Seminggu sebelum keberangkatan aku pergi bersama dua kawanku. Kawan seperjuangan yang bekerja untuk keabadian. Tujuannya adalah toko buku toga mas. Memang kami sudah merencanakan sebelumnya. Harus ada kegiatan ketika liburan nanti. Jangan sampai otak ini istirahat total selama liburan.  Atas saran teman akhirnya aku membeli sebuah buku berjudul Conspirata. Novel yang bercerita tentang bagaimana situasi politik di Romawi pada zaman dulu. Dua temanku yang lain membeli beberapa buku. Tak tanggung-tanggung, Maryono Ozawa membeli enam buku sekaligus. Mungkin ia ingin membawakan hadiah untuk istrinya. Maklum pasangan muda, hasrat masih menggelora.

Travel yang ku tumpangi melaju dengan kencang, tanpa standing dan terbang. Sedikit demi sedikit beranjak meninggalkan kota Jogja. Sebentar lagi kota ini akan lenyap dari pandangan mata. “Selamat Datang di Jawa Tengah,” melihat papan baliho itu seakan berjalan menuju neraka. Entah kenapa Jogja selalu lebih nyaman daripada dimanapun aku pernah tinggal. Namanya juga Jogja Istimewa. Sementara mobil melaju menuju neraka dunia ku putar lagu di playlist dan terlelap.

Semarang 17.30, aku turun dari travel. Tercium aroma neraka yang jahat. Ku langkahkan kaki menuju rumah. Ada rasa bahagia karena akan bertemu keluarga. Semakin lama langkah ini semakin berat. Memang tidak jauh dari rumah, tapi jalannya menanjak dan bawaan berat. Belum lagi hawa neraka membuat pakaian ini basah.

Sampai di rumah aku tak bisa tidur lagi. Hari itu hingga larut malam hanya memikirkan apa yang akan dikerjakan dalam satu bulan kedepan. Berharap bekal satu buku bisa menyibukkan liburanku.

Esok harinya dimulai dengan membuka lembar pertama Conspirata. Lembar kedua, ketiga, hingga lembar kesepuluh masih seru dan masih bisa  diimajinasikan. Berharap tidak ada lagi kata bosan. Namun lembar selanjutnya kabur, bak berjalan di tengah badai pasir. Ada nama-nama Romawi yang selalu berakhiran us. Julius, Mathius, Anus dan kawan-kawannya. Ditambah dengan rasa penasaran dari cerita buku ke-empat tetralogi bumi manusia yang belum rampung aku baca. Semangat membaca seketika itu lenyap. Si bosan datang lagi. Dan benar, lebih membosankan dari yang dibayangkan.

Cuaca di Semarang memang tidak pernah mendukung. Entah berapa suhu udara saat itu. Mungkin 40°C. Seakan matahari memusatkan titik panasnya pada atap rumah sewaan ini. Tak ada pendingin udara, hanya kipas tua yang menghembuskan angin panas. Hari berikutnya sama saja. Bahkan terasa lebih panas dari hari sebelumnya dan lebih membosankan dari sebelumnya. Semakin hari semakin panas, semakin hari semakin bosan, bosan dan bosan.

Seminggu berlalu serasa sewindu. Lamanya minta ampun. Penderitaan belum berakhir. Masih ada beberapa minggu lagi. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang bisa di ceritakan karena memang tak ada yang dikerjakan. Wajar tulisan ini membosankan, karena memang liburanku tidak mengesankan. Hanya merangsang kawan-kawan agar semangat bekerja untuk keabadian. Jogja menanti dengan sejuta tantangannya. Ctrl+S dan bersegera memejamkan mata. Berharap ketika terjaga aku sudah berada di kamar kost.

Senin, 22 Agustus 2011

PAK BAGONG



Umurnya kira-kira setengah abad. Rambutnya sedikit beruban, kulit hitam pekat karena terlalu sering kena sinar matahari, agak keriput namun badan masih berotot. Ditangan kanannya terdapat tato keris yang tidak sempurna. Boleh jadi asal bikin. Kelingking kaki kanan tak ada. Mungkin dampak dari ke bengalannya. Mahir berbahasa inggris dan perancis. Orang-orang di lingkungan sekitar biasa memanggilnya dengan sebutan pak Bagong.
Ya, siapa yang tak kenal pak Bagong. Orang yang di takuti di wilayah Mergansang. Orang yang dituakan oleh para gali. Seluruh gali di Yogyakarta pasti pernah mendengar namanya.
Mempunyai satu istri dengan kebiasaan berkoar-koar yang kulitnya tidak kalah hitam dengannya. Dari pernikahannya dengan istrinya melahirkan satu anak perempuan dan satu anak laki-laki yang nakal, barangkali lebih banyak gen ayahnya.
Sehari-hari hanya duduk memeluk kaki di depan rumah titipan bos nya. Terkadang keluar tak tahu kemana, mungkin nongkrong sambil merokok di sepanjang jalan Prawirotaman bersama konco-konconya. Dari cerita orang sekitar, beliau memang terkenal di daerah itu. Tak heran bila lancar berbahasa asing.
Tidak jelas profesinya apa. Bisa dikatakan pekerja musiman. Bila di Australia atau di Perancis sedang liburan musim panas maka ia akan mangkal dengan becaknya sekali lalu menjadi guide turis di tempat ia biasa nongkrong.
Sekali –sekali ia berjoget dengan goyangan khas nya di depan rumah di iringi dengan musik dangdut sembari menenggak minuman merah bergambar orang tua. Mungkin rindu dengan masa mudanya atau pusing memikirkan perjalanan hidupnya. Bahkan tak jarang siang hari ia pulang dari tempat biasa dalam keadaan teler, sampai-sampai di jemput dan di bimbing istrinya saat berjalan. Apalagi bila malam minggu tiba. Setelah magrib lepas, ia sudah gagah dengan celana dan jaket jeans. Tak lupa dengan topi lusuh yang selalu setia menutupi kepalannya.
Entah apa yang ada dipikirkannya dengan umur yang sudah lebih dari setengah abad. Se-gaek itu ia masih bisa berfoya-foya dengan keadaan keluarga yang bisa di bilang kurang secara finansial. Sebagai seorang muslim, hanya ibadah sholat jumat yang dilakukannya.
 Di lain sisi ia juga sosok yang penurut terhadap istri. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggungjawab  seorang istri mulai dari mencuci, menjemur pakaian hingga memandikan anak kerap di embannya. Tak jarang istrinya memerintah untuk mengerjakan suatu hal, namun tetap dikerjakannya walaupun dijawab dengan nada malas dan muka masam. Sukar di percaya, gali se-terkenal itu patuh kepada istri.